Jumat, 08 Agustus 2014

Memberikan Zakat Fitrah Kepada Keluarga

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ…، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri sebagai makanan bagi orang miskin.” (HR. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani)

Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepadafakir miskin, bukan 6 golongan penerima zakat lainnya.” (Nailul Authar, 2:7)

Hadis di atas secara tegas menunjukkan bahwa fungsi zakat fitri adalah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin ketika hari raya. Sebagian ulama mengatakan bahwa salah satu kemungkinan tujuan perintah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin di hari raya adalah agar mereka tidak disibukkan dengan memikirkan kebutuhan makanan di hari tersebut, sehingga mereka bisa bergembira bersama kaum muslimin yang lainnya. Keterangan lebih lengkap bisa anda simak di: yang berhak Menerima Zakat Kemudian, ketika ada salah satu anggota keluarga kita yang kurang mampu, baik itu saudara atau paman atau bibi atau kerabat lainnya, bolehkah zakat fitrah kita berikan kepada mereka? Jawabannya boleh dan bahkan lebih afdhal. Seseorang akan mendapatkan pahala lebih ketika dia salurkan zakatnya kepada kerabatnya daripada dia salurkan kepada orang lain. Karena menyalurkan zakat ke keluarga nilainya ganda: zakat dan mempererat silaturahim. Hanya saja ada syaratnya. Syaratnya: kerabat tersebut bukan termasuk orang yang wajib kita nafkahi. Jika kerabat tersebut termasuk orang yang wajib kita nafkahi, maka tidak boleh menerima zakat dari kita.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang zakat kepada kerabat, beliau menjawab: Boleh memberikan zakat fitrah atau zakat mal kepada kerabat yang miskin. Bahkan memberikan zakat kepada kerabat, lebih diutamakan daripada memberikannya kepada orang lain. Karena memberikan zakat kepada kerabat statusnya sebagai zakat dan mempererat silaturahim.Namun dengan syarat, dalam penyerahan zakat ini tidak menyebabkan terlindungi kewajiban hartanya. Semacam orang miskin tersebut termasuk orang yang wajib dia nafkahi. Dalam kondisi ini, dia tidak boleh memenuhi kebutuhan orang miskin tersebut yang diambilkan dari zakatnya. Jika dia lakukan hal ini, berarti dia telah memperkayahartanya dengan harta zakatnya. Tentu ini tidak boleh dan tidak halal. Namun jika dia bukan orang yang wajib dia nafkahi, maka dia boleh menyerahkan zakatnya kepada orang miskin itu. Bahkan menyerahkan zakat ke orang miskin yang masih kerabat, lebih afdhal dari pada diberikan kepada orang lain, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِيالرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Sesungguhnya zakat kepada orang miskin nilainya zakat (saja). Sedangkan zakat kepada kerabat, nilainya dua: zakat dan silaturahim.” (HR. Nasai, Dariri, turmudzi, Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani)(Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin18. no. 301)

Jumat, 25 Juli 2014

Hukum belum Mandi besar ketika waktu subuh pada waktu bulan Puasa

Subuh Bukanlah syarat sah berpuasa, seseorang harus suci dari hadats besar atau kecil. Ini berbeda dengan shalat atau thawaf di ka’bah. Orang yang hendak shalat atau thawaf, harus suci dari hadats besar maupun kecil. Dan jika terjadi hadats di tengah-tengah shalat maka shalatnya batal. Lain halnya dengan puasa, suci dari hadats bukanlah syarat sah puasa. Tidak bisa kita bayangkan andaikan puasa harus suci hadi hadats, tentu semua orang yang puasa akan sangat kerepotan. Karena mereka tidak boleh kentut atau buang air selama berpuasa.Oleh karena itu, orang yang junub dan belummandi hingga subuh, tidak perlu khawatir, karena semacam ini tidaklah mempengaruhipuasanya. Dalil pokok masalah ini adalah hadis dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu ‘anhuma; mereka menceritakan,كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ“Nabishallallahu ‘alaihi wa sallammemasuki waktu subuh, sementara beliau sedang junub karena berhubungan dengan istrinya. Kemudian, beliau mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari 1926 dan Turmudzi 779).At-Tumudzi setelah menyebutkan hadis ini, beliau mengatakan,وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَغَيْرِهِمْ، وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَInilah yang dipahami oleh mayoritas ulama di kalangan para sahabat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallamdan yang lainnya. Dan ini merupakan pendapat Sufyan At-Tsauri, As-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq bin Rahuyah. (Sunan At-Turmudzi, 3/140).

Kamis, 31 Oktober 2013

GLOKALISASI DAN PENDIDIKAN YANG DIDASARKAN PADA KEBUDAYAAN


A.    PENGERTIAN GLOKALISASI
Glokalisasi merupakan istilah yang mulai berkembang saat ini, istilah ini muncul seiring berkembangnya istilah globalisasi. Glokalisasi dan globalisasi tidaklah sama. Glokalisasi lebih condong ke dunia lokal. Glokalisasi dapat diartikan sebagai usaha untuk mencegah globalaisasi. Glokalisasi ini dilakukan untuk membentengi diri dari bercampurnya kebudayaan lokal dan kebudayaan asing. Jika arus globalisasai tidak bisa di bendung, maka kebudayaan yang dimiliki oleh suatu negara lama kelamaan akan mejadi hilang. Sebenarnya ada usaha lain untuk membendung arus globalisasi, seperti memperkuat identitas budaya kita, dan menanamkan budaya yang ada sejak dini. Tetapi yang paling mendapat perhatian saat ini sepertinya adalah glokalisasi. Glokalisasi juga bisa di artikan menjadi sebuah ide pikiran, yaitu berpikri global dan bertindak lokal[1].
Istilah ini pertama muncul pada akhir 1980-an di tulisan para ekonom Jepang di Harvard Business Review. Menurut sosiolog Roland Robertson, yang memopulerkan kata ini, glokalisasi mendeskripsikan hasil penyesuaian lokal baru terhadap tekanan global. Di konferensi "Globalization and Indigenous Culture" tahun 1997, Robertson mengatakan bahwa glokalisasi "berarti munculnya tendensi universal dan terpusat secara bersamaan[2]."
Menjamurnya restoran McDonald's di seluruh dunia adalah contoh globalisasi, sedangkan perubahan menu restoran demi menarik konsumen lokal adalah contoh glokalisasi. Glokalisasi berarti suatu peristiwa ketika sebuah produk global diubah ke dalam bentuk lain agar memenuhi kebutuhan konsumen lokal. Ini adalah fenomena alternatif bagi amerikanisasi. Contoh glokalisasi yang lebih ilustratif: Untuk mempromosikan mereknya di Perancis, McDonald's mengganti maskot Ronald McDonald-nya dengan Asterix, tokoh kartun Perancis yang populer.
Contoh lainnya, McDonald's mencoba memuaskan lidah orang Korea dengan menciptakan hamburger bergaya Korea seperti 'burger Bulgogi' dan 'burger Kimchi'. Starbucks menyerahkan urusan desain tokonya kepada warga setempat. Disneyland tidak begitu sukses di Hong Kong menurut jumlah pengunjung dan pendapatannya sejak dibuka tahun 2005. Disneyland lantas berusaha melayani pengunjung lokal dengan mengurangi harga tiket, beradaptasi dengan adat dan praktik kerja setempat, dan mengubah dekorasi dan tata letaknya. Dengan memenuhi kebutuhan warga setempat, glokalisasi berhasil diterapkan di Hong Kong. Karena itu, glokalisasi berkontribusi pada heterogenisasi budaya[3].
B.     GLOKALISASI DAN PENDIDIKAN YANG DIDASARKAN PADA KEBUDAYAAN[4]

Arus globalisasi telah melanda seluruh aspek kehidupan manusia abad ke-21. Namun demikian manusia yang tidak ingin kehilangan identitasnya dalam perubahan global dewasa ini, arti dari nilai-nilai lokal masih sangat signifikan bahkan memegang peranan yang semakin penting. Globalisasi akan lebih bermakna apabila keseluruhan dari nilai-nilai lokal diinspirasikan kedalamnya. Bukankah hal tersebut merupakan salah satu ciri dari kehidupan masyarakat manusia seperti penglihatan Ralph Linton? Glokalisasi 30 berarti pengakuan terhadap nilai-nilai budaya lokal yang bermanfaat bukan hanya bagi pemiliknya yang lokal tetapi juga untuk kepentingan umat manusia pada umumnya. Hal ini berarti mengglobalisasikan pen-didikan nasional yang didasarkan kepada kebudayaan Indonesia yang bhinneka dan unik merupakan suatu sumbangan yang sangat berharga dalam pengembangan budaya global.

Nilai-Nilai Pancasila dalam Pendidikan Karakter Bangsa dalam Masyarakat Indonesia Multikultural Pancasila menurut Bung Karno digali dari kebudayaan Nusantara yang bhinneka. Kebhinnekaan etnis dan budaya merupakan kenyataan di dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu perlu kite kaji apa makna kebhinnekaan tersebut di dalam proses pendidikan karakter bangsa. Telah dijelaskan pula betapa kebudayaan memegang peranan penting di dalam terbentuknya karakter atau watak suatu bangsa.
Bagaimana pengaruh kebhinnekaan kebudayaan terhadap pengembangan karakter bangsa Indonesia akan kita tinjau lebih lanjut.
C.    PESERTA DIDIK DALAM MASYARAKAT ETNIS[5]
Indonesia terdiri dari berbagai jenis etnis dengan budayanya yang spesifik. Antara lain kita mengenal lebih dari 700 bahasa daerah baik yang masih hidup dan berkembang maupun ada yang dalam keadaan sekarat. Keberadaan kebudayaan yang beranekaragam tersebut (multikultural) tentunya menimbulkan berbagai masalah yang positif maupun negatif di dalam pembentukan watak atau karakter bangsa Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Anderson bangsa adalah suatu masyarakat yang diimaginasikan. Bangsa Indonesia merupakan suatu imaginasi yang dicitacitakan oleh suku-suku bangsa yang mendiami Nusantara menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia. Sebagai-mana yang kita kenal di dalam Sumpah Pemuda Tahun 1928 kita mengimaginasikan satu negara yang mempunyai satu tanah air, satu bahasa dan satu negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sudah tentu negara yang dicita-citakan tersebut tidak datang dengan sendirinya etapi memerlukan suatu perjuangan. Salah satu perjuangan itu ialah bagaimana mempersatukan suku-suku bangsa dengan budayanya masing-masing menjadi satu bangsa Indonesia.
Multikulturalisme bangsa Indonesia mengandung nilai-nilai positif tetapi juga negatif. Nilai-nilai positif multikulturalisme bangsa Indonesia ialah kebhinnekaan itu menyumbang bagi kekayaan budaya angsa Indonesia. Seperti yang dirumuskan di dalam Penjelasan UUD 945 kebudayaan Indonesia merupakan puncak-puncak dari kebuayaan suku-suku bangsa di Nusantara. Yang menjadi persoalan sekarang ialah apa dan bagaimana masing-masing suku tersebut dapat menyumbangkan puncak kebudayaannya kepada kebudayaan bangsa Indonesia, kebudayaan nasional Indonesia. Disinilah terletak potensi bahaya yang dapat menghancurkan upaya untuk membentuk kesatuan kebudayaan nasional yang akan mengikat seluruh bangsa Indonesia. Keterikatan terhadap budaya sendiri atau ethnicity kadang-kadang sukar untuk ditinggalkan. Memang seperti kita lihat di dalam teori Vigotsky bagaimana pembentukan kepribadian seorang anggota masyarakat yang sangat terikat kepada pengalaman empat tahun yang pertama dalam kehidupan manusia yaitu dalam lingkungan keluarganya dan etnisnya. Hal tersebut merupakan tugas pendidikan yang besar yaitu bagaimana menghargai peranan budaya etnis yang dapat disumbangkan kepada terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia. Apabila keterkaitan terhadap budaya etnis sangat besar tetapi mengandung nilai-nilai negatif dalam kesatuan bangsa maka ini merupakan suatu bahaya di dalam pembentukan nasionalisme karena dapat menimbulkan pergeseran horizontal sebagaimana yang dialami oleh masyarakat Indonesia baru-baru ini. Era reformasi yang merupakan eksperimen untuk demokrasi, masyarakat terbuka, selain menghormati hak-hak asasi manusia tetapi juga telah melahirkan konflik horizontal di daerah.
Konflik horizontal ini kita lihat semakin berbahaya apabila disertai juga dengan kepentingan kelompok dan golongan ataupun agama.
Etnosentrisme atau kehidupan manusia yang didominasi oleh nilai-nilai etnis sendiri di dalam era globalisasi mengandung nilai-nilai positif tetapi juga nilai-nilai negatifnya. Dalam era globalisasi tampak kecenderungan terbentuknya budaya global yang menghilangkan identitas etnis. Lahir kebudayaan yang tanpa jiwa karena didominasi oleh materialisme dan kekuatan modal besar. Akibatnya ialah lahirnya pribadi-pribadi tanpa arah yang hanya mengikuti gelombang-gelombang global yang tanpa bentuk sehingga orang kehilangan identitasnya. Identitas nasional diganti dengan identitas metropolitan atau identitas global yang sebenarnya tanpa arah den bentuk atau lebih tepat tanpa jiwa. Memang benar etnisitas dalam era globalisasi mengalami perubahanperubahan yang sangat drastis akibat mobilisasi penduduk dunia yang cepat dan terbuka. Bahkan telah lahir apa yang disebut budaya hybrid yaitu percampuran antara berbagai jenis budaya yang bagi perkembangan pribadi seorang anak kecil merupakan suatu masalah. Dapat dibayangkan misalnya dari keluarga hybrid seorang ayah dari Amerika dan seorang ibu dari Indonesia dan anaknya menjadi besar di salah satu Negara Eropa Barat. Putera-puteri dari keluarga ini akan dibesarkan di dalam kebudayaan hybrid. Apakah benar pribadi hybrid tersebut di dalam negara tanpa batas merupakan pribadi ideal di abad ke-21? Sementara pakar tidak seluruhnya menyetujui pendapat ini karena bagaimanapun juga manusia terikat pada kelompoknya. Nasionalisme merupakan gejala kehidupan modern akan tetap langgeng meskipun akan mempunyai bentuknya yang lain.
Di tengah-tengah arus globalisasi ternyata etnisitas masih tetap hidup. Bahkan ada pakar yang mengatakan bahwa gelombang perubahan global akan semakin berarti apabila tetap menonjolkan nilai-nilai lokal. Inilah apa yang disebut glokalisasi yang memberikan warna tertentu di dalam kehidupan global masa depan. Glokalisasi tidak menentang perubahan global tetapi juga tidak menghilangkan hakikat manusia yang terikat kepada masyarakat etnisnya. Keunikan etnis yang positif akan memberikan warna yang indah di dalam taman kehidupan global yang multietnis. Indonesia merupakan contoh yang sangat indah mengenai lahirnya kebudayaan nasional dari kebhinne-aan budaya etnis.
Keberhasilan pendidikan nasional Indonesia yang multietnis barangkali dapat dijadikan contoh di dalam dunia global yang mengakui eksistensi kebhinnekaan kebudayaan di planet dunia ini. Makna Nilai-nilai Etnis dalam Pembentukan Watak Baik Ralph Linton maupun Leon Vigotsky melihat betapa pentingnya interaksi kebudayaan terhadap pembentukan kepribadian pesertadidik.
Ralph Linton menunjukkan bagaimana terbentuknya basic personality sebagai hasil interaksi dengan nilai-nilai di sekitarnya atau nilai-nilai budaya yang dikenal oleh anak manusia ketika dilahirkan. Leon Vigotsky menunjukkan terdapat lingkaran-lingkaran interaksi antara pribadi dengan lingkungannya yang semakin meluas atau ‘scape seperti “landscape” yang pertama yang sangat dekat yaitu ingkungan keluarga di mana dia dilahirkan. Budaya lokal sangat mempengaruhi tingkah-laku seorang peserta-didik, kebiasaan, adat-istiadat yang membentuk pribadinya yang pertama. Kemudian pada scape berikutnya peserta-didik mulai menghadapi lingkaran yang semakin tidak kedap (porous). Pada tahap inilah terjadi kemungkinan pembentukan yang lebih luas dari watak atau karakter peserta-didik.
Apabila pengaruh dari lust hanya terbatas atau didominasi dan diindoktrinasi oleh budaya lokalnya, maka pribadi yang terbentuk memiliki watak etnis yang terbatas. Namun apabila pengaruh lingkungan membuka pintu pikiran (ilmu pengetahuan dan teknologi) serta pintu hati (moral, agama) dengan dunia yang luas maka akan terbentuk watak atau karakter pribadi yang lebih luas dan lebih matang. Inilah yang dapat kita rebut pribadi yang memiliki karakter atau watak yang berbudaya dan berkeadaban.
Selanjutnya karena pribadi tersebut hidup di dalam dunia global yang terbuka maka dia dapat diterima di dalam pergaulan antarbangsa, pribadi yang dihormati dan saling menghormati di dalam kehidupan masyarakatnya dan masyarakat bangsa yang bermartabat.
Masyarakat Indonesia dewasa ini mengalami berbagai krisis antara lain krisis di dalam kehidupan beragama yang beragam. Timbul gejala-gejala yang apa yang disebut terorisme yaitu sikap kekerasan yang lahir dari fundamentalisme agama. Di dalam kaftan ini Prof. Azra35 menganjurkan agar supaya pendidikan anti-terorisme diajarkan di dalam lingkungan pendidikan seperti di pesantren.
Terorisme lahir karena kurangnya sikap toleransi terhadap perbedaan yang merupakan ciri dari suatu masyarakat plural dan multikultural seperti di Indonesia. Apabila setiap anggota masyarakat Indonesia mengakui akan kebhinnekaan masyarakat Indonesia maka terorisme yang ber-tujuan memaksakan kehendak kelompoknya atau kepentingan kelompoknya sendiri tidak akan terjadi.
Multikulturalisme yang lang-geng hanya dapat ditegakkan apabila sikap toleransi yang melahirkan tars percaya sehingga menghargai perbedaan dan melihatnya sebagai kekuatan hidup di dalam satu kelompok masyarakat atau bangsa. Salah satu masalah yang perlu mendapatkan prioritas di dalam pendidikan nasional dewasa ini ialah bagaimana membawa peserta-didik keluar dari lingkaran etnis yang kedap, dari sikap primordialisme kepada lahirnya karakter bangsa Indonesia yang menghargai adanya perbedaan. Inilah sikap demokratis yang merupakan tujuan pen-didikan nasional. Alangkah indahnya tujuan tersebut telah dirumus-kan di dalam undang-undang pendidikan pertama Republik Indonesia yang menyatakan tujuan pendidikan adalah membentuk manusia Indonesia yang susila dan demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa dan tanah air.
Desentralisasi pendidikan nasional dewasa ini merupakan suatu modal besar dalam pengakuan terhadap etnisitas dan multikultural bangsa Indonesia tetapi juga memberikan tanggung jawab kepada daerah untuk ikut melahirkan karakter bangsa dari peserta-didik sebagai anggota masyarakat Indonesia yang multikultural dan bersatu.





[1] http://zavick.wordpress.com/ilmu-pengetahuan/antropologi/glokalisasi/
[4] http://sondis.blogspot.com/2013/03/glokalisasi-dan-pendidikan-yang.html
[5] http://sondis.blogspot.com/2013/03/glokalisasi-dan-pendidikan-yang.htm

Jumat, 30 November 2012

SEKILAS TENTANG TAREKAT QADIRIYAH

A.    Munculnya Tarekat
Perwujudan Islam, meskipun berangkat dari sistem nilai yang berasal dari wahyu, menampakkan variasi dan keberagaman. Hal itu muncul sebagai bagian langsung dari interaksi Islam dengan struktur dan pola kultur masyarakat. Pada satu sisi, Islam sebagai doktrin dan pedoman harus memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang timbul, sehingga masyarakat menemukan Islam sebagai pedoman yang ideal dan terbaik. Namun demikian, pada sisi lain, Islam harus menerima masukan dan pengaruh-pengaruh tertentu yang diakibatkan oleh pola pandangan dan penafsiran yang ada pada pemeluk Islam. Interaksi Islam dan pola kultur masyarakat yang demikian menghasilkan sebuah ketegangan yang pada gilirannya mempengaruhi corak perwujudan Islam itu sendiri.[1]
            Karena struktur dan pola kultur masyarakat beragam, maka interaksi Islam menghasilkan variasi tampilan Islam, keberagaman perwujudan Islam telah menghasilkan fitnah di kalangan umat Islam baik dalam bentuk konflik maupun pertempuran sesama umat Islam. Mengenai pembentukan faksi-faksi dalam Islam mendapatkan momentumnya ketika masing-masing membuat dan menawarkan konsep pemahaman dan penafsiran serta merumuskan karakteristik gerakannya.
            Dalam prakteknya masing-masing faksi atau mazhab, di samping mempunyai konsep dasar, ideologi dan karakteristik gerakannya. Sebagai bagian dari bentangan altar pembentukan dan perkembangan faksi-faksi dalam Islam, tasawuf mewakili sebuah kecenderungan sebagian umat Islam untuk menjalani dan memiliki kualitas keberagaman yang menekankan komunikasi langsung dengan Allah. Ia meliputi sebuah pengalaman spiritual yang memperioritaskan esensi keberagaman yang berpandu pada ranah emosi dan instuisi. Kehadiran tasawuf sebagai mazhab merupakan reaksi terhadap kuatnya tendensi rasionalisasi dalam Islam, utamanya dalam wilayah hukum dan teologi dengan menawarkan tendensi baru pada kebebasan dan peningkatan kualitas spiritual.
            Perkembangan awal tasawuf dilandasi dengan ekspresi natural dari respon individual muslim terhadap agamanya yang terkait dalam konfigurasi kolektif. Proses natural tersebut tercermin dari kebebasan seseorang untuk menggeluti agamanya dengan mengutamakan pemahaman kontempalatif, kontak dengan Tuhan dan ciptaan-ciptaan-Nya, keteraturan pelaksanaan ibadah dan akhlak mulia dan penguatan moralitas masyarakat. Pesan-pesan dasar al-Qur’an tentang kesalehan diwujudkan dalam bentuk dzikir, zuhud dan kecintaan total kepada Allah.[2] Tasawuf, dengan demikian, menawarkan model baru yang menekankan aspek batin dari ajaran Islam yang diwujudkan dalam pola-pola keterikatan batin dengan Tuhan dan perwujudan moralitas perilaku yang muncul dari padanya. Hal yang demikian, berbeda dengan model yang sudah ada yang menekankan aspek lahir dalam struktur hukum (fiqh).
            Proses pendalaman dasar-dasar substantif ajaran Islam sebagai tersebut dengan dipercaya sebagai masukan dari variasi budaya yang ada di wilayah teritori Islam membentuk sistem tasawuf. Sistem tasawuf pada awalnya tidak menekankan pada “philosophical system”, melainkan “the way of purification” (jalan penyucian diri). Ajaran dan praktek kesufian dengan sistem tertentu pada kenyataannya berkembang ke pelosok dunia Islam. Pada tahap inilah pola hubungan jalan penyucian mengeras dalam bentuk relasi guru murid. pertama menjadi sumber reformasi baik pandangan maupun praktek, sedangkan pihak kedua menjadi pengikat.[3] Jaringan mursyid-murid pada gilirannya membentuk konsentrasi di tempat-tempat dan cara-cara tertentu pula. Di sinilah fondasi dasar pembentukan tarekat.[4]
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira' di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.
Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.

B.     Definisi Tarekat
Tarekat (Thariqah) secara harfiah berasal dari bahasa Arab thoriqoh, jamaknya thoraiq berarti "jalan" sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,
Èq©9r&ur (#qßJ»s)tFó$# n?tã Ïps)ƒÌ©Ü9$# Nßg»oYøs)óV{ ¹ä!$¨B $]%yxî ÇÊÏÈ
Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).

Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat "rahasia" yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai'at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.
Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada al-Thoriqoh al-Mu'tabarah al-Ahadiyyah, Tarekat Qadiriyah, Thoriqoh naqsyabandiyah, Tarekat rifa'iah, tarekat samaniyah dll. untuk di indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf (Suawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam sebutannya saja. Bahkan di Manado ada juga Biara Nasrani yang menggunakan istilah Tarekat, seperti Tarekat SMS Joseph.

Empat tingkatan spiritual


Bagan yang menggambarkan kedudukan tarekat dalam empat tingkatan spiritual (syari'ahtariqahhaqiqah, dan ma'rifah yang dianggap tidak terlihat)








Kaum sufi berpendapat bahwa terdapat empat tingkatan spiritual umum dalam Islam, yaitu syari'at, tariqah, haqiqah, dan tingkatan keempat ma'rifat yang merupakan tingkatan yang 'tak terlihat'. Tingkatan keempat dianggap merupakan inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari seluruh tingkatan kedalaman spiritual beragama tersebut.
C.    Berdirinya Tarekat Qadiriyah
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 88 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qadiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, 'Urabiyyah, Yafi'iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla'iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka'iyah, Bu' Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut "Syurafa Jilala".
Dari ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir "Laa ilaha Illa Allah" dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat "Laa Ilaha Illa Allah" kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak. Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu'tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya' sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu'ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A'uf dan sebagainya.

D.    Bai'at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti; pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan "infahna binafhihi minka" dan dilanjutkan dengan ayat mubaya'ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.

E.     Tarekat Qodiriyah di Indonesia
Seperti halnya tarekat di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya "Mystical Dimensions of Islam" hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.
Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.
Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah organisasi terbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.
Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh Khatib Sambas ke-34.
Sama halnya dengan silsilah tarekat almarhum KH Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai ma'rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.

F.     Silsilah Tarekat Qadiriyah
Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Silsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari:
1.Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui
2.Sayidina Ali bin Abi Thalib ra,
3.Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra,
4.Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra,
5.Sayidina Muhammad Baqir ra,
6.Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra,
7.Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim,
8.Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido,
9.Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti,
10.Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi,
11.Syaikh Abu Bakar As-Syibli,
12.Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi,
13.Syaikh Abul Faraj Altartusi,
14.Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari,
15.Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi,
16.Syaikh Muhyidin Abu Muhammad,
17.Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.
Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.
Sumber: http://sufinews.com/index.php/Qodiriyah/tarekat-qodiriyah/All-Pages.sufi



[1] Lihat hasil laporan, M. Nafis, Peranan Tarekat Dalam Dinamika Dakwah Pada Abad Pertengahan Islam, hlm. 13-14.
[2] Lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo  Persada, 1996), hlm. 29.
[3] M. Fudoli Zaini,  “Asal-usul Tarekat dan Penyebarannya di Dunia Islam,   dalam Akademika, Vol. 03 /07 /1998, hlm. 3-5
[4] Adapun yang mendorong lahirnya tarekat menurut Barmawie Umarie ada tiga hal yaitu: Karena dalam diri manusia sebenarnya memang ada bakat mengarah kepada kehidupan rohani; Timbul sebagai reaksi zaman yang anarkhis, misalnya akibat revolusi, kesewenangan kedhaliman dan sebagainya, yang kemudian mereka memilih kepada mengasingkan diri dalam dunia tarekat. Atau sekaligus gerakan tarekat dijadikan pelopor atau pioner dalam menghadapi situasi itu; karena orang jemu terhadap kemewahan dan kemegahan dunia. Lihat Barmawie Umarie, “Sistematika Tasawuf”,(Sala: Ramadhani,1961,), hlm. 116-117. Lihat juga hasil penelitian Slamet Khilmi “Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kedungparuk Banyumas”, Kajian Historis dan Sosiologis, hlm. 2-4.